Siapa Ichiki Tatsuo?
KETIKA Jepang menduduki Indonesia pada 1942, apa motif-motivasi yang melandasinya? Tentu ada berbagai alasan mulai dari so-sial, politik, militer, kebudayaan hingga ekonomi. Di antara motif sosialnya ialah membantu Indonesia agar terlepas dari penjajahan Belanda. Atau membantu sesama bangsa Asia untuk dapat mengusir kolonialis Eropa. Maka ketika Jepang pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, bendera matahari terbit bersanding dengan sang merah-putih. Lagu Kimigayo diperdengarkan bersamaan dengan Indonesia Raya. Kesan pertama kehadiran Jepang begitu memukau rakyat Indonesia. Oleh karena itu, rakyat mengelu-elukan kedatangan pasukan "saudara tua" itu, "Banzai .. banzai!" Begitu rakyat mengelu-elukan arak-arakan tentara Jepang. Belanda yang sudah bercokol 350 tahun telah dinyatakan kalah.
Maka, ketika muncul larangan pengibaran bendera merah-putih dan hanya Kimigayo yang boleh diperdengarkan, mulailah rakyat bertanya-tanya, "Mengapa tidak seperti yang dijanjikan?" Dan dimulailah era pendudukan seumur jagung itu.
Di antara orang Jepang, ada juga yang sejak awal percaya pada janji negaranya untuk memerdekakan Indonesia. Misi ke Indonesia baginya adalah tugas kemanusiaan. Di antara mereka yang berpendirian seperti itu adalah Ichiki Tatsuo. Ichiki lahir pada 1906 di kota kecil Taraki, Kumamoto, sebelah selatan Kyushu. Ichiki sangat kecewa dengan adanya pelarangan itu. Ia merasa negaranya telah ingkar janji dan dirinya merasa tertipu.
Ichiki termasuk tim perintis yang masuk ke Jawa, jauh sebelum Nippon menduduki Indonesia. Ia "diselundupkan" dalam berbagai misi kebudayaan sejak pertengahan 1920-an. Tak heran jika ia mampu berbahasa Indonesia secara baik dan menjadi penerjemah utama elite militer Jepang di kemudian hari. Persepsi positif dari kalangan pergerakan Indonesia terhadap Jepang, antara lain berkat pendekatan-pendekatan Ichiki dan kawan-kawannya.
Dalam masa pendudukan Jepang, Ichiki berkecimpung di bidang jurnalistik yang kemudian banyak mempertemukannya dengan Oto Iskandar di Nata, yang juga seorang jurnalis. Kalau Oto memimpin koran Tjahaja, Ichiki menjadi Pemred Asia Raya. Di koran yang dikomando Ichiki inilah, Rosihan Anwar menjadi salah seorang wartawannya.
Dalam sebuah artikel berjudul "Bendera Merah Poetih" (Tjahaja, 21/9/1944), Ichiki menjelaskan hubungannya dengan sejumlah pelajar Indonesia di Tokyo. "Pada tahun 2600 (1940, pen), di Tokyo lahir suatu perhimpunan pemuda Nippon, yang bermaksud hendak menunjang usaha pelajar-pelajar Indonesia di Tokyo, untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia, dan kedua golongan itu acap kali berkumpul di suatu rumah yang menjadi asrama bagi pemuda-pemuda itu".
Di antara para pemuda Indonesia itu terdapat Mr. Sudjono, sarjana hukum yang tidak mau bekerja untuk Belanda dan memilih bekerja di Jepang. Ia menjadi guru kelas Melayu di Tokyo Gaigo. Dalam pertemuan awal para pemuda dua negara itu, Sudjono tanpa ragu menampakkan kegembiraannya. "Kami merasa sangat girang, terharu, karena melihat bendera merah putih, bendera kebangsaan kita di samping bendera matahari terbit".
Lewat kerja sama antar-pemuda itulah dilakukan berbagai kampanye mengenai Indonesia kepada masyarakat Jepang. Mereka memperkenalkan pemuka dan tokoh Indonesia, menulis riwayat kebangsaan di koran dan majalah, mengadakan pidato kebudayaan, dll. Kelompok ini pula yang mengupayakan perekaman lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan di radio ketika Jepang mulai mendarat di Indonesia. Perekaman lagu untuk disiarkan lewat radio ke Indonesia, supaya bangsa Indonesia yakin akan sokongan Nippon yang hendak melepaskan bangsa dari kungkungan Belanda. Perekaman itu dibantu penyanyi tenar Jepang saat itu, Yamada Kosaku. Ia melatih sejumlah penyanyi Jepang untuk merekam lagu Indonesia Raya.
Ketika Jepang mulai mempertahankan watak militeristiknya yang fasis, para pemuda ini kecewa. Bahkan kekecewaan seorang Ichiki direalisasikan dengan bergabung menjadi warga Indonesia. Ia rela gugur sebagai kusuma bangsa yang sebenarnya asing bagi dirinya, tapi bangsa itu melekat dalam sanubarinya. Di antara tentara Jepang yang disebut fasis itu ternyata ada orang semacam Ichiki yang sangat humanis. Nasionalisme baginya bukan lagi ikatan primordial kebangsaan tertentu, melainkan kemanusiaan seutuhnya. Itulah makna gugurnya "saudara tua" kita itu di Semeru Selatan. Ia mati demi mempertahankan kemerdekaan yang hakiki, kemerdekaan jiwa dan raga dari berbagai ketamakan manusia
KETIKA Jepang menduduki Indonesia pada 1942, apa motif-motivasi yang melandasinya? Tentu ada berbagai alasan mulai dari so-sial, politik, militer, kebudayaan hingga ekonomi. Di antara motif sosialnya ialah membantu Indonesia agar terlepas dari penjajahan Belanda. Atau membantu sesama bangsa Asia untuk dapat mengusir kolonialis Eropa. Maka ketika Jepang pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, bendera matahari terbit bersanding dengan sang merah-putih. Lagu Kimigayo diperdengarkan bersamaan dengan Indonesia Raya. Kesan pertama kehadiran Jepang begitu memukau rakyat Indonesia. Oleh karena itu, rakyat mengelu-elukan kedatangan pasukan "saudara tua" itu, "Banzai .. banzai!" Begitu rakyat mengelu-elukan arak-arakan tentara Jepang. Belanda yang sudah bercokol 350 tahun telah dinyatakan kalah.
Maka, ketika muncul larangan pengibaran bendera merah-putih dan hanya Kimigayo yang boleh diperdengarkan, mulailah rakyat bertanya-tanya, "Mengapa tidak seperti yang dijanjikan?" Dan dimulailah era pendudukan seumur jagung itu.
Di antara orang Jepang, ada juga yang sejak awal percaya pada janji negaranya untuk memerdekakan Indonesia. Misi ke Indonesia baginya adalah tugas kemanusiaan. Di antara mereka yang berpendirian seperti itu adalah Ichiki Tatsuo. Ichiki lahir pada 1906 di kota kecil Taraki, Kumamoto, sebelah selatan Kyushu. Ichiki sangat kecewa dengan adanya pelarangan itu. Ia merasa negaranya telah ingkar janji dan dirinya merasa tertipu.
Ichiki termasuk tim perintis yang masuk ke Jawa, jauh sebelum Nippon menduduki Indonesia. Ia "diselundupkan" dalam berbagai misi kebudayaan sejak pertengahan 1920-an. Tak heran jika ia mampu berbahasa Indonesia secara baik dan menjadi penerjemah utama elite militer Jepang di kemudian hari. Persepsi positif dari kalangan pergerakan Indonesia terhadap Jepang, antara lain berkat pendekatan-pendekatan Ichiki dan kawan-kawannya.
Dalam masa pendudukan Jepang, Ichiki berkecimpung di bidang jurnalistik yang kemudian banyak mempertemukannya dengan Oto Iskandar di Nata, yang juga seorang jurnalis. Kalau Oto memimpin koran Tjahaja, Ichiki menjadi Pemred Asia Raya. Di koran yang dikomando Ichiki inilah, Rosihan Anwar menjadi salah seorang wartawannya.
Dalam sebuah artikel berjudul "Bendera Merah Poetih" (Tjahaja, 21/9/1944), Ichiki menjelaskan hubungannya dengan sejumlah pelajar Indonesia di Tokyo. "Pada tahun 2600 (1940, pen), di Tokyo lahir suatu perhimpunan pemuda Nippon, yang bermaksud hendak menunjang usaha pelajar-pelajar Indonesia di Tokyo, untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia, dan kedua golongan itu acap kali berkumpul di suatu rumah yang menjadi asrama bagi pemuda-pemuda itu".
Di antara para pemuda Indonesia itu terdapat Mr. Sudjono, sarjana hukum yang tidak mau bekerja untuk Belanda dan memilih bekerja di Jepang. Ia menjadi guru kelas Melayu di Tokyo Gaigo. Dalam pertemuan awal para pemuda dua negara itu, Sudjono tanpa ragu menampakkan kegembiraannya. "Kami merasa sangat girang, terharu, karena melihat bendera merah putih, bendera kebangsaan kita di samping bendera matahari terbit".
Lewat kerja sama antar-pemuda itulah dilakukan berbagai kampanye mengenai Indonesia kepada masyarakat Jepang. Mereka memperkenalkan pemuka dan tokoh Indonesia, menulis riwayat kebangsaan di koran dan majalah, mengadakan pidato kebudayaan, dll. Kelompok ini pula yang mengupayakan perekaman lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan di radio ketika Jepang mulai mendarat di Indonesia. Perekaman lagu untuk disiarkan lewat radio ke Indonesia, supaya bangsa Indonesia yakin akan sokongan Nippon yang hendak melepaskan bangsa dari kungkungan Belanda. Perekaman itu dibantu penyanyi tenar Jepang saat itu, Yamada Kosaku. Ia melatih sejumlah penyanyi Jepang untuk merekam lagu Indonesia Raya.
Ketika Jepang mulai mempertahankan watak militeristiknya yang fasis, para pemuda ini kecewa. Bahkan kekecewaan seorang Ichiki direalisasikan dengan bergabung menjadi warga Indonesia. Ia rela gugur sebagai kusuma bangsa yang sebenarnya asing bagi dirinya, tapi bangsa itu melekat dalam sanubarinya. Di antara tentara Jepang yang disebut fasis itu ternyata ada orang semacam Ichiki yang sangat humanis. Nasionalisme baginya bukan lagi ikatan primordial kebangsaan tertentu, melainkan kemanusiaan seutuhnya. Itulah makna gugurnya "saudara tua" kita itu di Semeru Selatan. Ia mati demi mempertahankan kemerdekaan yang hakiki, kemerdekaan jiwa dan raga dari berbagai ketamakan manusia
Ichiki Tatsuo alias Abdul Rahman (1906 - 1949)
Lahir di Taraki, Kyushu Selatan tahun 1906, anak ke-tiga dari enam bersaudara dari keluarga Samurai yg mengabdi pada klan Sagara, masuk Kristen dan dibaptis atas nama Sebastian.
Di Indonesia dia jadi salah satu pejuang dan masuk Islam dengan mengganti namanya menjadi Abdul Rahman. Beliau gugur di Dampit, Malang, Jawa Timur tanggal 3 Januari 1949 ketika terjadi pertempuran dengan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Semoga Tuhan memberikan tempat yg layak untuk beliau atas jasanya terhadap Bangsa dan Negara Indonesia.
Lahir di Taraki, Kyushu Selatan tahun 1906, anak ke-tiga dari enam bersaudara dari keluarga Samurai yg mengabdi pada klan Sagara, masuk Kristen dan dibaptis atas nama Sebastian.
Di Indonesia dia jadi salah satu pejuang dan masuk Islam dengan mengganti namanya menjadi Abdul Rahman. Beliau gugur di Dampit, Malang, Jawa Timur tanggal 3 Januari 1949 ketika terjadi pertempuran dengan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Semoga Tuhan memberikan tempat yg layak untuk beliau atas jasanya terhadap Bangsa dan Negara Indonesia.
memang ada interfensi dan tuduhan dari sekutu tentang campur tangan jepang dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia..
siapa aja yg duduk disitu..sebagian orang pendahulu kita memang mengetahui cerita yg sebenarnya..
terlepas dari itu semua..
Bung Karno juga mengakui bahwa orang-orang Jepang secara pribadi tidak sedikit yang ikut berjuang bersama-sama bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka, khususnya Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro, pada tanggal 15 Februari 1958, ketika Bung Karno berada di Tokyo menyerahkan kepada SHIGETADA NISHIJIMA teks sebuah prasasti untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo..
Nishijima adalah tangan kanan sekaligus penerjemah bagi Laksamana Tadashi Maeda..
"Issei" Tanaka, dari Fuji ke
Merapi
Kompas,Rabu, 16 April 2008 | 01:46 WIB
Ahmad Arif
Dalam selimut halimun yang mulai turun dari lereng Gunung Merapi suatu sore, Abdul Rosid, 101 tahun, menyambut kami dengan bahasa Jepang. Dia paksa tubuh rentanya membungkuk dalam, menghormat kepada tamu khas orang Jepang.
Hari-hari ini Bapak memang sering bicara dalam bahasa Jepang. Mungkin dia kangen dengan masa kecilnya,” kata Masako (55), anak keempat Abdul Rosid, yang menemaninya tinggal di Kaliurang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Abdul Rosid, yang nama aslinya Yukitoshi Tanaka, memang berasal dari Jepang. Dia adalah satu dari enam issei atau generasi pertama Jepang di Indonesia, yang masih hidup hingga kini.
Perjalanan nasib manusia memang tak pernah bisa disangka-sangka. Tanaka tak pernah mengira bisa hidup selama ini saat memutuskan tinggal di Indonesia setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II. Hidupnya pernah teramat sulit dan beberapa kali nyaris dijemput maut.
Tanaka lahir pada 20 Oktober 1907 di kabupaten Tottori, Jepang. Bulan Juni 1942 dia meninggalkan Jepang menuju Indonesia untuk menjadi tenaga kontrak di Nanpo Kuzutetsu Tosei Kumiai (Koperasi Kontrol Besi Tua Kawasan Selatan). Tugasnya, mengumpulkan besi tua sebagai bahan membuat senjata dalam Perang Dunia II.
Dengan seragam tentara, walaupun tanpa tanda pangkat—karena statusnya sebagai tenaga sipil—Tanaka naik kapal dari Pelabuhan Ujina, Hiroshima, dan tiba di Tanjung Priok, Batavia. Sejak saat itu hingga kini, ketika usianya mencapai seabad lebih, Tanaka menetap di Pulau Jawa.
Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Tanaka ditempatkan di Bandung. Di kota itu dia kecantol mojang priangan, Eulis. Mereka menikah tahun 1943.
Pusaran Perang Pasifik
Tanaka hanyalah ”sekrup kecil” dalam pusaran Perang Pasifik. Awal tahun 1940-an, jutaan pemuda Jepang berbondong ke luar negeri untuk mengambil alih negara-negara di Asia selatan yang saat itu dicengkeram penjajah dari dunia Barat.
Orang-orang muda Jepang itu terbakar semangat penyatuan Asia Pasifik yang didengungkan kekaisaran. ”Saya harus mendukung tanah air,” kenang Tanaka.
Namun, sebagian pemuda Jepang diam-diam memendam kekecewaan kepada kekaisaran ketika menemui kenyataan bahwa kehadiran mereka di Indonesia adalah sebagai penjajah baru. Orang-orang muda ini segera bergabung dengan para pemuda Indonesia yang tengah mempersiapkan kemerdekaan.
Bagi para serdadu yang diam-diam telah bersimpati kepada rakyat Indonesia itu, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik adalah pintu gerbang untuk bergabung dengan pergerakan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda yang membonceng tentara Sekutu.
Dalam catatan Yayasan Warga Persahabatan, yayasan yang dibentuk mantan serdadu Jepang yang tinggal di Indonesia, jumlah tentara Jepang yang tidak kembali ke negara asal setelah tahun 1945 mencapai 2.000 orang. Sebanyak 1.500 orang tewas dalam perang melawan Belanda.
Hingga kini tinggal enam orang yang masih hidup, satu di antaranya adalah Abdul Rosid atau Yukitoshi Tanaka. Sebanyak 28 orang Jepang, yang berstatus veteran Indonesia, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Kisah tentang mantan serdadu Jepang yang ikut pemuda Indonesia berperang melawan Belanda banyak muncul di daerah. Misalnya kisah tentang Ichiki Tatsuo, yang memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di Dampit, Malang—sebagaimana dituturkan dalam buku Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, penerbit Obor, 1988. Ichiki Tatsuo yang telah mengganti namanya dengan Abdul Rachman tewas diterjang peluru Belanda dalam pertempuran tanggal 9 Januari 1949.
Akan tetapi, bertahun-tahun pascakemerdekaan, kisah kepahlawanan mantan serdadu Jepang itu banyak terbungkam oleh kisah kekejaman kempetai pada romusha dan kisah penuh haru-biru tentang jugun ianfu.
Dari Fuji ke Merapi
Bagi Tanaka, keputusan untuk menetap dan membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda awalnya dilandasi rasa bimbang. ”Bagaimana nasib saya jika tetap di Indonesia? Namun, bagaimana harus menanggung malu jika pulang ke Jepang?” kenang Tanaka. Kekalahan, dalam pikiran Tanaka, lebih buruk dibandingkan dengan kematian.
Tanaka kemudian memilih menetap di Indonesia, lebih karena rasa tanggung jawabnya kepada Eulis dan Yuriko, anak pertama mereka yang waktu itu berumur dua tahun. Namun, perjalanan mengungsi membawa Tanaka bertemu dengan pasukan Siliwangi yang tengah bergerilya.
Setelah sempat dicurigai sebagai mata-mata Belanda dan ditahan oleh Badan Keamanan Rakyat, Tanaka kemudian justru diangkat sebagai anggota kesatuan itu. Tugasnya, mengintai pergerakan tentara Belanda.
Tanaka dan keluarganya mengikuti pergerakan pasukan Siliwangi hingga ke Yogyakarta. Di kota itu dia bertemu dengan Suryadarma, Komandan Angkatan Udara Tentara Indonesia, yang semasa penjajahan Jepang pernah berhubungan baik dengan Tanaka. Dia lalu bergabung dengan Angkatan Udara.
Sejak tahun 1951 dia menetap di Kaliurang, dengan surat tugas resmi dari Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai pengelola Rumah Kesehatan Kaliurang—sekarang menjadi Hostel Vogel. Di lereng Gunung Merapi itulah Tanaka membesarkan delapan anaknya.
Sesekali Tanaka diminta membantu proyek Jepang di Indonesia, misalnya pembangunan Hotel Ambarukmo yang didanai dengan dana pampasan perang Jepang. Pada 17 Agustus 1995, Tanaka, yang berstatus veteran Tentara Indonesia ini, mendapat penghargaan atas jasa-jasa pengembangan persahabatan Indonesia-Jepang dari Duta Besar Jepang.
Bagi Tanaka, Gunung Merapi ibarat hidupnya yang kedua. Hidupnya yang pertama di bawah naungan Gunung Fuji. ”Saya menjalankan kehidupan kedua ini dengan nama Abdul Rosid. Saya berusaha menjaga sikap tidak mendahulukan kepentingan sendiri, menjauhkan diri dari sifat rakus, serta tidak mengganggu orang lain. Saya mengharapkan bisa berperan sebagai salah satu batang kayu penjaga jembatan penghubung Jepang dan Indonesia,” tulis Tanaka dalam buku kecil Tapak Tilas Tanaka, yang dibuat keluarganya menyambut ulang tahun ke-100 Tanaka, Oktober 2007.
”Saya yakin, apa yang saya lakukan tidak salah, asalkan anak-anak saya, tiga laki-laki dan lima perempuan, masing-masing bisa menunjukkan kehidupan yang benar sebagai orang Indonesia yang mewarisi darah Jepang...,” tambah Tanaka.
Hari-hari Tanaka kini sepi semenjak Eulis meninggal tahun 1997.
”Saya melewati sisa-sisa kehidupan ini dengan rasa sepi, bagaikan angin bertiup dari celah pintu,” ujarnya.
Kompas,Rabu, 16 April 2008 | 01:46 WIB
Ahmad Arif
Dalam selimut halimun yang mulai turun dari lereng Gunung Merapi suatu sore, Abdul Rosid, 101 tahun, menyambut kami dengan bahasa Jepang. Dia paksa tubuh rentanya membungkuk dalam, menghormat kepada tamu khas orang Jepang.
Hari-hari ini Bapak memang sering bicara dalam bahasa Jepang. Mungkin dia kangen dengan masa kecilnya,” kata Masako (55), anak keempat Abdul Rosid, yang menemaninya tinggal di Kaliurang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Abdul Rosid, yang nama aslinya Yukitoshi Tanaka, memang berasal dari Jepang. Dia adalah satu dari enam issei atau generasi pertama Jepang di Indonesia, yang masih hidup hingga kini.
Perjalanan nasib manusia memang tak pernah bisa disangka-sangka. Tanaka tak pernah mengira bisa hidup selama ini saat memutuskan tinggal di Indonesia setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II. Hidupnya pernah teramat sulit dan beberapa kali nyaris dijemput maut.
Tanaka lahir pada 20 Oktober 1907 di kabupaten Tottori, Jepang. Bulan Juni 1942 dia meninggalkan Jepang menuju Indonesia untuk menjadi tenaga kontrak di Nanpo Kuzutetsu Tosei Kumiai (Koperasi Kontrol Besi Tua Kawasan Selatan). Tugasnya, mengumpulkan besi tua sebagai bahan membuat senjata dalam Perang Dunia II.
Dengan seragam tentara, walaupun tanpa tanda pangkat—karena statusnya sebagai tenaga sipil—Tanaka naik kapal dari Pelabuhan Ujina, Hiroshima, dan tiba di Tanjung Priok, Batavia. Sejak saat itu hingga kini, ketika usianya mencapai seabad lebih, Tanaka menetap di Pulau Jawa.
Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Tanaka ditempatkan di Bandung. Di kota itu dia kecantol mojang priangan, Eulis. Mereka menikah tahun 1943.
Pusaran Perang Pasifik
Tanaka hanyalah ”sekrup kecil” dalam pusaran Perang Pasifik. Awal tahun 1940-an, jutaan pemuda Jepang berbondong ke luar negeri untuk mengambil alih negara-negara di Asia selatan yang saat itu dicengkeram penjajah dari dunia Barat.
Orang-orang muda Jepang itu terbakar semangat penyatuan Asia Pasifik yang didengungkan kekaisaran. ”Saya harus mendukung tanah air,” kenang Tanaka.
Namun, sebagian pemuda Jepang diam-diam memendam kekecewaan kepada kekaisaran ketika menemui kenyataan bahwa kehadiran mereka di Indonesia adalah sebagai penjajah baru. Orang-orang muda ini segera bergabung dengan para pemuda Indonesia yang tengah mempersiapkan kemerdekaan.
Bagi para serdadu yang diam-diam telah bersimpati kepada rakyat Indonesia itu, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik adalah pintu gerbang untuk bergabung dengan pergerakan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda yang membonceng tentara Sekutu.
Dalam catatan Yayasan Warga Persahabatan, yayasan yang dibentuk mantan serdadu Jepang yang tinggal di Indonesia, jumlah tentara Jepang yang tidak kembali ke negara asal setelah tahun 1945 mencapai 2.000 orang. Sebanyak 1.500 orang tewas dalam perang melawan Belanda.
Hingga kini tinggal enam orang yang masih hidup, satu di antaranya adalah Abdul Rosid atau Yukitoshi Tanaka. Sebanyak 28 orang Jepang, yang berstatus veteran Indonesia, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Kisah tentang mantan serdadu Jepang yang ikut pemuda Indonesia berperang melawan Belanda banyak muncul di daerah. Misalnya kisah tentang Ichiki Tatsuo, yang memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di Dampit, Malang—sebagaimana dituturkan dalam buku Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, penerbit Obor, 1988. Ichiki Tatsuo yang telah mengganti namanya dengan Abdul Rachman tewas diterjang peluru Belanda dalam pertempuran tanggal 9 Januari 1949.
Akan tetapi, bertahun-tahun pascakemerdekaan, kisah kepahlawanan mantan serdadu Jepang itu banyak terbungkam oleh kisah kekejaman kempetai pada romusha dan kisah penuh haru-biru tentang jugun ianfu.
Dari Fuji ke Merapi
Bagi Tanaka, keputusan untuk menetap dan membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda awalnya dilandasi rasa bimbang. ”Bagaimana nasib saya jika tetap di Indonesia? Namun, bagaimana harus menanggung malu jika pulang ke Jepang?” kenang Tanaka. Kekalahan, dalam pikiran Tanaka, lebih buruk dibandingkan dengan kematian.
Tanaka kemudian memilih menetap di Indonesia, lebih karena rasa tanggung jawabnya kepada Eulis dan Yuriko, anak pertama mereka yang waktu itu berumur dua tahun. Namun, perjalanan mengungsi membawa Tanaka bertemu dengan pasukan Siliwangi yang tengah bergerilya.
Setelah sempat dicurigai sebagai mata-mata Belanda dan ditahan oleh Badan Keamanan Rakyat, Tanaka kemudian justru diangkat sebagai anggota kesatuan itu. Tugasnya, mengintai pergerakan tentara Belanda.
Tanaka dan keluarganya mengikuti pergerakan pasukan Siliwangi hingga ke Yogyakarta. Di kota itu dia bertemu dengan Suryadarma, Komandan Angkatan Udara Tentara Indonesia, yang semasa penjajahan Jepang pernah berhubungan baik dengan Tanaka. Dia lalu bergabung dengan Angkatan Udara.
Sejak tahun 1951 dia menetap di Kaliurang, dengan surat tugas resmi dari Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai pengelola Rumah Kesehatan Kaliurang—sekarang menjadi Hostel Vogel. Di lereng Gunung Merapi itulah Tanaka membesarkan delapan anaknya.
Sesekali Tanaka diminta membantu proyek Jepang di Indonesia, misalnya pembangunan Hotel Ambarukmo yang didanai dengan dana pampasan perang Jepang. Pada 17 Agustus 1995, Tanaka, yang berstatus veteran Tentara Indonesia ini, mendapat penghargaan atas jasa-jasa pengembangan persahabatan Indonesia-Jepang dari Duta Besar Jepang.
Bagi Tanaka, Gunung Merapi ibarat hidupnya yang kedua. Hidupnya yang pertama di bawah naungan Gunung Fuji. ”Saya menjalankan kehidupan kedua ini dengan nama Abdul Rosid. Saya berusaha menjaga sikap tidak mendahulukan kepentingan sendiri, menjauhkan diri dari sifat rakus, serta tidak mengganggu orang lain. Saya mengharapkan bisa berperan sebagai salah satu batang kayu penjaga jembatan penghubung Jepang dan Indonesia,” tulis Tanaka dalam buku kecil Tapak Tilas Tanaka, yang dibuat keluarganya menyambut ulang tahun ke-100 Tanaka, Oktober 2007.
”Saya yakin, apa yang saya lakukan tidak salah, asalkan anak-anak saya, tiga laki-laki dan lima perempuan, masing-masing bisa menunjukkan kehidupan yang benar sebagai orang Indonesia yang mewarisi darah Jepang...,” tambah Tanaka.
Hari-hari Tanaka kini sepi semenjak Eulis meninggal tahun 1997.
”Saya melewati sisa-sisa kehidupan ini dengan rasa sepi, bagaikan angin bertiup dari celah pintu,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar